contoh penelitian hadis menggunakan pendekatan bahasa
BAB I
PENDAHULUAN
Setelah melakukan
penelitian sanad dan matan pada hadis tentang menyembunyikan ilmu, maka penulis
mendapatkan kesimpulan bahwa hadis tersebut memiliki kualitas sanad dan matan
yang shahih. Jika dilhat dari ketersambungan sanadnya, tidak ada sanad yang
terputus dan jika dilihat dari shigah tahammulnya hadis ini memiliki
kredibilitas shahih, karena tidak masuk dalam kriteria hadis dha’if.
Kemudian pada
penelitian kali ini penulis ingin mecoba memahami matan hadis dengan
menggunakan pendekatan bahasa. Sebenarnya pendekatan dalam memahami hadis
banyak sekali. Akan tetapi di sini penulis akan mencoba memahaminya dengan satu
pendekatan saja.
Dalam hal ini
penulis ingin meneliti dari aspek kebahasaan yang berhubungan dengan struktur
bahasanya. Apakah strukturnya sudah sesuai dengan kaidah bahasa arab atau
belum. Maka dari untuk mengetahui lebih dalam akan penulis uraikan pada bab
selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teks
Hadis
Hadis tentang menyembunyikan
ilmu yang terdapat dalam Sunan Abu Dawud : Jilid 3, Kitab Ilmu, Bab karaahiyatu
man’u al-’ilm, dengan nomer hadits 3658. Dalam Musnad Ahmad ibnu Hanbal
jilid 2, pada musnad Abu Hurairah, dengan nomer hadits 8623[1]. Bunyi
teks dalam Sunan Abu daud adalah:
حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَكَمِ
عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ
بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ[2]
“Telah menceritakan kepada kami Musa bin
Isma'il telah menceritakan kepada kami Hammad telah mengabarkan kepada kami Ali
bin Al Hakam dari 'Atha dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa ditanya mengenai suatu
ilmu dan ia menyembunyikannya, maka ia akan dicambuk dengan cambuk dari api
neraka pada hari kiamat."
Kemudian bunyi
teks dalam musnad Ahmad bin Hanbal, adalah:
حَدَّثَنَا ابن نمير قال حدثناعمارة بن زاذان، عَن عَلِي بن الحَكَمِ عَنْ
عَطَاءِ بن أَبِي رَبَاحٍ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ : أن رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال "مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ يعلمه فَكَتَمَهُ،
أَلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ[3]
“Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair,ia
berkata telah menceritakan kepada kami Umarah bin Zadzan dari Ali bin Al Hakam
dari 'Atha bin Abi Rabah dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa ditanya mengenai suatu
ilmu yang ia ketahui dan ia menyembunyikannya, maka ia akan dicambuk pada hari
kiamat dengan cambuk dari api neraka."
B.
Syarah
Hadis dengan Pendekatan Bahasa
Hadis-hadis di
atas menjelaskan tentang wajibnya menyampaikan ilmu. Yang dimaksud dengan sampaikanlah
ilmu atau pelajaran dari Nabi Saw walaupun sedikit sesuai dengan kemampuan,
atau sesuai dengan kemampuan yang dimiliki atau sesuai ilmu yang diketahuinya. Menyampaikan
ilmu adalah wajib hukumnya dan menyimpannya adalah termasuk perbuatan dosa yaitu
yang disebut dengan katim al-ilmi. Orang yang menyimpan ilmu atau
menyembunyikannya ancamannya sangat besar seperti hadis yang telah disebutkan
di atas.
Pada hadis di
atas Rasulullah bersabda:
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ
يَعْلَمُهُ
Barang siapa ditanya mengenai suatu ilmu yang
ia ketahui
Barang siapa yang ditanya oleh seseorang
tentang suatu ilmu yang ia ketahui, baik berupa ilmu agama maupun ilmu lainnya,
atau ilmu agama yang hukumnya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah.[4]
فَكَتَمَهُ
Kemudian ia menyembunyikannya
Maksud dari
menyembunyikan ilmu di sini adalah tidak mau menjawab pertanyaan yang
dilontarkan seseorang kepada dirinya, atau juga menyembunyikan buku yang
berhubungan dengan pertanyaan itu.
أَلْجِمَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
maka ia akan dicambuk pada hari kiamat dengan
cambuk dari api neraka.
Abdul Majid khon mengatakan dalam bukunya, yang
dia kutip dari kitab Tuhfatul Ahwadzi syarah jami’ at-Tirmidzi yang
dimaksud dengan لِجَامٍ di sini ialah tali
kendali api neraka bukanlah cambuk api neraka.[5] Api
neraka itu diletakkan pada mulut penyimpan ilmu sebagaimana tali kendali yang
diletakkan pada mulut binatang sebagai siksaannya. Api yang diletakkan dalam
mulutnya diserupakan dengan tali kendali di mulut binatang karena sama-sama
diam. Orang alim diam dengan ilmunya sedangkan binatang diam terkendali tidak
dapat melakukan kehendaknya dengan bebas.
Orang yang ditanya tentang ilmu kemudian
menyembunyikan ilmunya dan membungkamkan mulutnya tanpa mau mengatakannya, maka
mulutya itu akan disiksa oleh Allah kelak di hari kiamat sebagai balasan yang
setimpal. Hadis ini mengandung ancaman siksaan bagi orang yang menyembunyikan
ilmu. Sehubungan dengan hal ini sahabat Abu hurairah ra mengatakan, bahwa
seandainya tidak ada satu ayat dalam kitabullah yang mengatakan ancaman ini
niscaya aku tidak akan mengemukakan suatu hadis pun.[6] Yaitu
firman Allah:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqßJçFõ3t !$tB $uZø9tRr& z`ÏB ÏM»uZÉit7ø9$# 3yçlù;$#ur .`ÏB Ï÷èt/ $tB çm»¨Y¨t/ Ĩ$¨Z=Ï9 Îû É=»tGÅ3ø9$#
y7Í´¯»s9'ré& ãNåkß]yèù=t ª!$# ãNåkß]yèù=tur cqãZÏ軯=9$# ÇÊÎÒÈ
Sesungguhnya
orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula)
oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nat. (QS. Al-Baqarah
159)
Orang yang menyembunyikan ilmu yang sudah dia
pelajari maka ia akan dilaknat dan disiksa sesuai dengan apa yang ada dalam
Al-Qur’an dan sunnah.
Menurut
As-Sayyid yang dikutip oleh Abdul Majid Khon dalam bukunya yang dimaksud ilmu
di sini adalah ilmu yang wajib diajarkan seperti mengajarkan keislaman terhadap
orang kafir, mengajarkan shalat tepat pada waktunya, meminta fatwa tentang
halal dan haram dan bukan ilmu sunnah yang tidak merupakan keharusan untuk
mempelajarinya.[7]
Setelah penulis menjelaskan syarah hadis yang
diambil dari buku-buku syarah hadis, kemudian penulis akan melanjutkan
syarahnya dengan pendekatan bahasa. Pendekatan
bahasa adalah sebuah metode yang dilakukan untuk memahami suatu hadis dengan
meneliti tata bahasanya, susunan kalimatnya dan lain sebagainya. Pendekatan ini
dapat membantu untuk memahami sebuah hadis dari sisi linguistiknya.
Hadis Nabi
Muhammad memiliki bentuk matan yang beragam, karena itulah diperlukan
pendekatan bahasa untuk memahami hadis-hadis itu. Dalam pendekatan bahasa ada
beberapa objek yang perlu dikaji, yaitu:[8]
1.
Struktur
bahasa, artinya apakah susunan kata dalam matan hadis yang menjadi objek
penelitian sesuai dengan kaidah bahasa arab
2.
Kata-kata
yang terdapat dalam matan hadis, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah
dipergunakan bangsa arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata
baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur arab
3.
Matan
hadis tersebut menggambarkan bahasa ke-Nabian
4.
Menelusuri
makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah makna kata tersebut
ketika diucapkan oleh Nabi Muhammad sama dengan makna yang dipahami oleh
pembaca atau peneliti.
Setelah
menjelaskan tentang apa itu pendekatan bahasa, penulis akan mencoba
mengaplikasikannya pada hadis di atas. Pada hadis tentang menyembunyikan ilmu
terdapat kata مَنْ, مَنْ adalah huruf istifham
yang digunakan untuk menanyakan makhluk yang berakal. Jadi yang dimaksud dengan
مَنْ di sini adalah orang yang berakal, yaitu sehat fikirannya dan dalam
keadaan sadar.
Kemudian kata سُئِلَ, سُئِلَ
adalah fi’il madhi yang berbentuk majhul yang berarti ditanya atau diberi
pertanyaan yang harus dijawab. Kemudian terdapat kata عِلْمٌ,
dalam kaidah nahwu, kata ini berkedudukan sebagai ma’ul bih yang terdiri
dari jar majrur. Kataعِلْمٌ menggunakan isim
mufrad, kenapa menggunakan isim mufrad, isim mufrad di sini sudah mewakili
jama’. Jadi yang dimaksud ilmu di sini adalah semua ilmu yang sudah ia pelajari.
Isim mufrad ini menandakan bahwa ia tidak boleh menyembunyikan satu ilmu pun, jika
satu ilmu saja tidak boleh disembunyikan apalagi banyak ilmu. Akan tetapi
menurut syarah yang penulis kutip di atas, hadis ini menggunakan isim mufrad karena,
yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu-ilmu yang wajib dipelajari, yaitu
ilmu agama. Sedangkan ilmu-ilmu yang sunnah tidak dihukumi hadis di atas.
Namun jika
mengikuti kaidah bahasa isim mufrad di atas adalah sudah menggantikan yang
jama’, jadi tidak boleh menyembunyikan ilmu baik sedikit maupun banyak. Kemudian
pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal terdapat kata يَعْلَمُهُ, kata ini menggunakan
fi’il mudhori’. fi’il mudhori’ berarti menunjukkan sebuah pekerjaan yang dilakukan
pada saat ini atau yang akan datang, sedangkan menurut kaidah bahasa fi’il
mudhori’ yaitu sebuah pekerjaan yang dilakukan secara berulang-ulang atau terus
menerus. Jadi hadis di atas mengandung arti sebuah ilmu yang telah ia pelajari,
atau yang telah ia ketahui yang mana ilmu itu akan bermanfaat seterusnya dan
selalu ia ingat. Jika ilmu yang dipelajari adalah ilmu agama, maka ilmu ini
akan bermanfaat seterusnya, tidak hanya berhenti pada saat ia mempelajari ilmu
itu. Sedangkan dhamir ه kembali pada marji’
terdekatnya yaitu عِلْمٌ.
Kata
selanjutnya adalah فَكَتَمَهُ, huruf fa’ bukanlah
sebuah jawab dari syarat, namun harfu fa’ di sini berfungsi sebagai kata
penghubung yang menunjukkan arti ثم yaitu kemudian. Penulis berkesimpulan
demikian karna pada matan hadis tersebut tidak terdapat harfu syarthin, dan
jika kata ini berfungsi sebagai jawab, maka artinya tidak sesuai.
Selanjutnya kata كَتَمَ, kata ini berbentuk fi’il
madhi, menggunakan fi’il madhi karena disesuaikan dengan kata yang ada pada
awal kalimat, yaitu kata سُئِلَ.
Pada hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Daud menggunakan kata أَلْجَمَ, sedangkan pada hadis
yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal menggunakan kata أُلْجِمَ, keduanya sama-sama menggunakan fi’il madhi, hanya saja pada
riwayat Ahmad bin Hanbal fi’ilnya dimajhulkan. Pada riwayat Abu Daud diperjelas
dengan menyebutkan lafadz Allah, bahwa orang yang menyembunyikan ilmu akan
diberi balasan oleh Allah. Sedangkan pada riwayat Ahmad bin Hanbal tidak
disebutkan lafadz Allah, namun di sini sudah cukup jelas bahwa yang akan
memberikan balasan pada orang yang menyembunyikan ilmu di hari kiamat adalah
Allah Sang pemberi ilmu. Dalam riwayat Abu daud terdapat lafadz Allah mungkin
adalah untuk memberi ta’qid bahwa yang akan memberi balasan pada hari
kiamat nanti adalah Allah Swt. Padahal jika lafadz Allah tidak disebutkan, di
dalam kata أَلْجَمَ sudah terdapat fa’il yang berbentuk dhamir mustatir yang
taqdirnya “huwa” yaitu dhamir yang tersembunyi yang menempati
kata ganti “dia”. Kemudian dhamir ه
yang melekat pada kata أَلْجَمَهُ, kembali pada marji’ مَنْ سُئِلَ. Meskipun kedua lafadz ini berbeda,
namun keduanya tidak merubah makna hadis.
Lafadz يَوْمُ الْقِيَامَةِ adalah fa’il dari
kata أُلْجِمَ yang berbentuk mudhaf-mudhaf
ilaih. Mashdar لِجَام menggunakan
bentuk mufrad, dan ini menunjukkan bahwa hukuman bagi orang yang menyembunyikan
ilmu adalah dengan dipasang tali kendali ke mulutnya, kata ini tidak
menggunakan bentuk jama’ karna tali kendali itu hanya satu. Sedangkan huruf ب pada kata لِجَام dipahami sebagai akibat, dalam artian
adanya hukuman itu merupakan akibat dari adanya orang yang menyembunyikan ilmu.
Selanjutnya
harfu مِن, min di sini menduduki arti dasarnya yaitu
dari, dan kata نار, kata ini menggunakan
isim nakirah. Pada hadis-hadis di atas kata نار diartikan api neraka.
Kata ini menggunakan isim nakirah karena belum diketahui api neraka yang mana,
karena neraka memiliki banyak tingkatan, apakah akan di ambilkan tali dari api
neraka jahannam atau yang lainnya masih belum dapat diketahui, namun pastinya
orang yang menyembunyikan ilmu akan ditali mulutnya dengan tali yang diambil
dari api neraka.
Dari uraian di
atas dapat diketahui bahwa susunan kalimat yang digunakan pada hadis di atas
sesuai dengan kaidah nahwu sharraf, sehingga tidak diragukan lagi bahwa hadis
ini bukanlah hadis dha’if jika dilihat dari segi matannya. Pada uraian di atas
penulis hanya dapat meneliti dari segi susunan bahasa serta kaidah nahwu
sharrafnya saja, karena penulis tidak menemukan kata-kata asing maupun sukar
dalam hadis tersebut. Dan menurut penulis bahasa yang digunakan adalah bahasa
yang dipakai oleh bangsa arab, serta kata-kata yang digunakan juga merupakan
kata-kata yang lumrah digunakan oleh bangsa arab.
Jika dilihat
dari objek kajian yang harus digunakan dalam pendekatan bahasa, maka semua
aspeknya menurut penulis sudah sesuai dengan kaidah tatanan bahasa arab. Hanya
saja karena hadis ini diriwayatkan secara ma’nawi maka redaksinya sedikit
berbeda, namun hal ini tidak mempengaruhi makna yang terkandung dalam hadis
tersebut karna maksud dari hadis tersebut adalah sama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa hadis di atas memiliki kualitas yang shahih jika
dilihat dari segi matannya. Karena susunan bahasa yang digunakan sudah sesuai
dengan literatur bahasa arab. Pada hadis tersebut juga tidak ditemukan
kata-kata yang sukar untuk dipahami, hal ini menunjukkan bahwa hadis ini adalah
hadis shahih karena menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh umat Nabi
Muhammad.
Meskipun imam
Tirmidzi menyatakan dalam kitabnya al-jami’ ash-shohih bahwa hadis ini adalah
hadis hasan, namun dalam penelitian yang sudah penulis lakukan hadis ini
memiliki kualitas shahih. Dilihat dari segi bahasa, susunan kalimatnya,
kata-kata yang digunakan, semuanya sesuai dengan kaidah bahasa arab dan juga
tidak ada kata-kata asing yang digunakan dalam hadis ini. Karena semua sudah
sesuai dengan tatanan bahasa arab, maka hadis ini memiliki kualitas shahih.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud. Sunan Abu Daud Juz 3. Indonesia: Maktabah Dahlan.
Baitul Afkar wa
Daulah. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. saudi Arabia: Baitul Afkar wa
Daulah.
Khon, Abdul
Majid. 2012. Hadis Tarbawi (hadis-hadis pendidikan) cet. ke-1. Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup.
Nashif, Manshur
Ali. 2003. Mahkota Pokok-Pokok Hadits Rasulullah Saw. Jilid I, Terj.
Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Suryadilaga,
Alfatih. 2012. Metodologi Syarah
Hadis. Yogyakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga.
Wensinck, A.J. 1955. Mu’jam al-Mufahras li
Alfadz al-Hadits an-Nabawi, Jilid VI. Leiden: Beiril.
[1] A.J. Wensinck, Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits an-Nabawi,
Jilid VI , (Leiden: Beiril, 1955), h. 94
[3]
Baitul Afkar wa Daulah, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (saudi Arabia:
Baitul Afkar wa Daulah), hlm. 741
[4] Abdul Majid Khon, Hadis
Tarbawi (hadis-hadis pendidikan) cet. ke-1, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2012), h. 82
[6] Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-Pokok Hadits Rasulullah Saw. Jilid I,
Terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo 2003), h. 162
[8] Alfatih Suryadilaga, Metodologi
Syarah Hadis, (Yogyakarta: Suka Press UIN Sunan
Kalijaga, 2012), h. 123
Komentar
Posting Komentar